Uneg-Uneg Soal Ibukota
Jakarta adalah ibukota negara terbesar di Asia Tenggara. Tapi mengapa saya tidak begitu bangga menjadi warga kota ini? Bukan hanya tidak bangga, juga merasa tidak nyaman, tidak aman, mudah stress, dan sebagainya.
Jakarta belum menjadi kota idaman bagi saya. Ada beberapa masalah yang teridentifikasi selama tiga tahun tinggal disini. Pertama adalah kemacetan. Lalu lintas macet itu bisa berarti karena jumlah kendaraan yang terlalu banyak, atau sarana transportasi tidak efisien. Bagi saya sendiri, titik tolaknya jelas adalah sistem transportasi yang belum efisien. Masyarakat penglaju di sekitar Jakarta belum mendapatkan sarana transport umum-massal-cepat yang memadai.
Busway secara konseptual bagus. Konsepnya adalah satu jalur jalan yang khusus untuk angkutan umum, tidak boleh dilewati kendaraan lain. Konsep ini akan jauh lebih murah jika memanfaatkan sarana yang sudah ada. Cukup gunakan armada yang lama, penanda dan pembatas jalan yang tidak mahal tapi tahan lama (jalur besi-baja seperti rel kereta api), dan konsep menaikkan-menurunkan penumpang yang pasti/disiplin. Jika ditambah dengan kenyamanan dan keamanan yang terjamin (selalu hanya berhenti di halte dan ada petugas keamanan), kombinasi ini akan cukup menarik arus penglaju untuk beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Kuncinya adalah membuat perjalanan dengan angkutan umum di kota ini menjadi pengalaman yang menyenangkan, bukannya traumatik!
Masalah kedua adalah polusi/sampah. Kendaraan tua merupakan sumber polusi di jalanan. Ini adalah masalah ekonomi karena menyangkut kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk memperbarui kendaraan sesuai standar emisi terbaru. Namun sejalan dengan konsep busway diatas, jika penggunaan angkutan umum menjadi semakin dapat diandalkan, total cost yang dikeluarkan pemerintah maupun masyarakat akan jauh lebih bisa ditekan. Dan kebijakan apapun untuk membatasi jumlah kendaraan yang boleh melewati jalanan ibukota (3-in-1, pembatasan umur kendaraan, pajak melintas, tarif parkir tinggi) tidak akan banyak mendapat tentangan.
Sampah adalah masalah kombinasi antara kedisiplinan dan efektifitas. Disiplin adalah masalah leadership. Jika kota ini dipimpin dengan manajemen yang jelas dan dipercaya oleh warganya, niscaya masalah sampah hanya secuil diantara isu penting lainnya yang dapat diluruskan. Mungkin Pak Gubernur perlu rajin keliling kampung untuk memotivasi warga soal kebersihan. Tukang sapu jalanan ditambah jumlahnya dan ditingkatkan kinerjanya; dengan kenaikan upah kek! Efektifitas adalah soal pilihan konsep dan teknologi. Dengan keterlibatan yang intens dari kalangan akademis dan LSM, mestinya sistem yang efektif bisa ditemukan. Jadi, apa yang dicapai oleh Pemda DKI hingga saat ini patut dipertanyakan. Apa susahnya menyertakan kalangan yang kompeten mengenai teknologi pengolahan sampah? Sejumlah teknologi dari Jepang dan Eropa yang sempat dibeberkan oleh beberapa pakar semestinya ditanggapi serius.
Masalah ketiga adalah banjir. Dalam hal ini, koordinasi dengan pemerintah daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang harus diintensifkan dalam hal pengelolaan irigasi. Harus ada sistem kanal, besar maupun kecil, yang rapi dan lancar dari daerah resapan air (Bogor, Depok) hingga daerah pembuangan (Jakarta, Tangerang, Bekasi). Ini akan memastikan air tidak meluap secara tidak semestinya dan akan bermanfaat sebagai sarana transportasi alternatif dan air minum (seperti yang secara berhasil ditunjukkan oleh "kota air" Venesia dan Bangkok.
Masalah keempat adalah kekumuhan dan PKL. Daerah kumuh terbentuk dari akumulasi kaum urban yang tidak tertampung oleh fasilitas kota. Begitu pula PKL. Ekses dari kekumuhan adalah mudah berkembangnya wabah penyakit dan kerentanan terhadap bahaya kebakaran. Ini harus ditangani serius. Pemindahan secara bertahap harus dilakukan ke daerah lain yang lebih memenuhi syarat pemukiman yang layak. Alasan penolakan pindah dari sebagian warga daerah kumuh dapat diatasi dengan proyek pembangunan ekonomi lemah yang konsisten. Kebanyakan warga daerah kumuh adalah pekerja sektor informal atau PKL. Pada dasarnya masalah dari PKL hanyalah soal ketertiban. That's all! Padahal masalah ini dapat diatasi jika ada sentra-sentra PKL yang dibangun secara serius dengan mengutamakan kebersihan, keamanan dan ketertiban.
Masalah kelima adalah keamanan. Jakarta adalah ibukota negara. Seharusnya keamanan bukan lagi masalah. Namun ternyata sebaliknya. Jakarta penuh pencopet, penodong dan perampok. Dengan densitas penduduknya yang tinggi, seharusnya jumlah polisi diperbanyak. Masih banyak tempat-tempat yang rawan kejahatan. Ini seharusnya dapat ditekan dengan patroli polisi yang aktif. Kinerja polisi juga harus ditingkatkan. Tidak seharusnya polisi menjadi pemalas atau bahkan ikut jadi penjahat, memeras dan membuat warga tidak nyaman.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home