Thursday, January 20, 2005

The level of incompetence principle

Buat anda-anda yang berencana atau sedang siap-siap naik dari level staf ke level manajer, hmm… ada teori yang menarik nih. Teorinya mengatakan bahwa dalam suatu hirarkhi, seseorang cenderung untuk naik ke level of incompetence atau suatu tingkatan dimana dia akan mendapati bahwa kemampuan yang dimilikinya saat ini menjadi terasa k-u-r-a-n-g. Masalahnya, misal kita sekarang sedang di puncak performa, atasan kita menganggap kemampuan kita ekselen dan kontribusi kita luar biasa, hmmm. Lalu sudah pasti donk kita dapet reward, dan reward-nya ternyata kita dipromosiin ke posisi eksekutif. Pertanyaannya, akankah promosi itu kita terima? Apakah level manajerial tepat untuk kita? Ataukah kita termasuk golongan yang cenderung seperti teori diatas? Pertimbangkan ini:
Ada yang bilang, ketika kita naik ke posisi yang lebih tinggi, maka kemampuan komunikasi kita harus ditingkatkan pula. Artinya, kita harus lebih pandai dalam berkomunikasi dengan orang lain yang punya beragam perbedaan. Bisa beda sudut pandang, beda kepentingan, beda tingkat kecerdasan, dan lain-lain. Ambil saja contoh seorang engineer yang biasa berkutat dengan mesin atau komputer atau obeng dan segala hal lain yang lebih banyak merupakan "benda mati". Kalaupun dia berdiskusi dengan sesama engineer, topiknya pun tidak jauh dari proyek atau problem yang sedang ditangani. Nah, ketika dia jadi manajer, dia 'terpaksa' ngobrol dengan executive management, sesama manajer, orang marketing, orang hrd, orang accounting, dll. Spektrumnya beragam. Dan kuncinya disini tetap satu: kemampuan komunikasi harus di-upgrade.
Ada pula yang bilang, ketika seseorang naik ke level manajer, maka dia harus belajar untuk mengarahkan dan bukannya bertindak. Mengenai ini, ada sebuah kasus dari seorang engineer yang ahli dalam mendesain sistem. Kemudian ketika ia diangkat menjadi manajer, ternyata dia masih tidak ingin lepas dari pekerjaannya semula sehingga menimbulkan pekerjaan rangkap yang seharusnya bisa dihindari. Bayangkan, dia mengelola pekerjaan-pekerjaan sekaligus mengerjakannya!! Seorang teman pernah mengingatkan, manajer dibayar untuk apa yang ia ketahui, bukan untuk apa yang ia kerjakan dengan tangannya sendiri.
Saya pernah baca juga di sebuah jurnal, seorang manajer yang baik dan tidak ingin sepanjang karirnya dipenuhi dengan stress harus punya skill teknis yang portabel (bisa dibawa kemana-mana). Apa sajakah? Pertama, solution-oriented. Kalau seorang staf datang ke manajernya dengan sebuah problem, sang manajer harus mampu membantu dengan solusi, atau paling tidak memahami problemnya. Kedua, double-check-and-balance. Seorang manajer harus bisa menyeimbangkan sisi teknis dengan sisi bisnis dalam kebijakan yang ia buat. Ketiga, quick study. Seorang manajer harus bisa belajar cepat, kecuali jika ia mau ketinggalan informasi; gaptek. Skill-skill portabel ini yang kadang tidak dimiliki oleh sebagian manajer.
Satu kalimat terakhir: tiap orang adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Jika pun kita tetap di posisi teknis, selama kepuasan kerja dan ehm, gaji yang diperoleh sudah sesuai, tidak perlu deh terburu-buru untuk bergeser ke posisi manajemen. Posisi manajemen bukanlah untuk semua orang, sebagaimana posisi teknis pun bukan untuk sembarang orang. Tiap orang punya kecenderungan, generalis atau spesialis, melebar atau mendalam, mengelola orang atau mengelola barang. Nikmati pekerjaan anda, jadikan bernilai ibadah, jadikan seperti permainan dan hobby yang menarik. Enjoy…!
Kita tutup dulu pembahasan mengenai manajemen, silakan diskusi, sampai ketemu lagi… Kerja! Kerja! Jangan email-emailan mlulu!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home