Monday, May 23, 2005

Uneg-Uneg Soal Ibukota

Jakarta adalah ibukota negara terbesar di Asia Tenggara. Tapi mengapa saya tidak begitu bangga menjadi warga kota ini? Bukan hanya tidak bangga, juga merasa tidak nyaman, tidak aman, mudah stress, dan sebagainya.

Jakarta belum menjadi kota idaman bagi saya. Ada beberapa masalah yang teridentifikasi selama tiga tahun tinggal disini. Pertama adalah kemacetan. Lalu lintas macet itu bisa berarti karena jumlah kendaraan yang terlalu banyak, atau sarana transportasi tidak efisien. Bagi saya sendiri, titik tolaknya jelas adalah sistem transportasi yang belum efisien. Masyarakat penglaju di sekitar Jakarta belum mendapatkan sarana transport umum-massal-cepat yang memadai.

Busway secara konseptual bagus. Konsepnya adalah satu jalur jalan yang khusus untuk angkutan umum, tidak boleh dilewati kendaraan lain. Konsep ini akan jauh lebih murah jika memanfaatkan sarana yang sudah ada. Cukup gunakan armada yang lama, penanda dan pembatas jalan yang tidak mahal tapi tahan lama (jalur besi-baja seperti rel kereta api), dan konsep menaikkan-menurunkan penumpang yang pasti/disiplin. Jika ditambah dengan kenyamanan dan keamanan yang terjamin (selalu hanya berhenti di halte dan ada petugas keamanan), kombinasi ini akan cukup menarik arus penglaju untuk beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Kuncinya adalah membuat perjalanan dengan angkutan umum di kota ini menjadi pengalaman yang menyenangkan, bukannya traumatik!

Masalah kedua adalah polusi/sampah. Kendaraan tua merupakan sumber polusi di jalanan. Ini adalah masalah ekonomi karena menyangkut kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk memperbarui kendaraan sesuai standar emisi terbaru. Namun sejalan dengan konsep busway diatas, jika penggunaan angkutan umum menjadi semakin dapat diandalkan, total cost yang dikeluarkan pemerintah maupun masyarakat akan jauh lebih bisa ditekan. Dan kebijakan apapun untuk membatasi jumlah kendaraan yang boleh melewati jalanan ibukota (3-in-1, pembatasan umur kendaraan, pajak melintas, tarif parkir tinggi) tidak akan banyak mendapat tentangan.

Sampah adalah masalah kombinasi antara kedisiplinan dan efektifitas. Disiplin adalah masalah leadership. Jika kota ini dipimpin dengan manajemen yang jelas dan dipercaya oleh warganya, niscaya masalah sampah hanya secuil diantara isu penting lainnya yang dapat diluruskan. Mungkin Pak Gubernur perlu rajin keliling kampung untuk memotivasi warga soal kebersihan. Tukang sapu jalanan ditambah jumlahnya dan ditingkatkan kinerjanya; dengan kenaikan upah kek! Efektifitas adalah soal pilihan konsep dan teknologi. Dengan keterlibatan yang intens dari kalangan akademis dan LSM, mestinya sistem yang efektif bisa ditemukan. Jadi, apa yang dicapai oleh Pemda DKI hingga saat ini patut dipertanyakan. Apa susahnya menyertakan kalangan yang kompeten mengenai teknologi pengolahan sampah? Sejumlah teknologi dari Jepang dan Eropa yang sempat dibeberkan oleh beberapa pakar semestinya ditanggapi serius.

Masalah ketiga adalah banjir. Dalam hal ini, koordinasi dengan pemerintah daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang harus diintensifkan dalam hal pengelolaan irigasi. Harus ada sistem kanal, besar maupun kecil, yang rapi dan lancar dari daerah resapan air (Bogor, Depok) hingga daerah pembuangan (Jakarta, Tangerang, Bekasi). Ini akan memastikan air tidak meluap secara tidak semestinya dan akan bermanfaat sebagai sarana transportasi alternatif dan air minum (seperti yang secara berhasil ditunjukkan oleh "kota air" Venesia dan Bangkok.

Masalah keempat adalah kekumuhan dan PKL. Daerah kumuh terbentuk dari akumulasi kaum urban yang tidak tertampung oleh fasilitas kota. Begitu pula PKL. Ekses dari kekumuhan adalah mudah berkembangnya wabah penyakit dan kerentanan terhadap bahaya kebakaran. Ini harus ditangani serius. Pemindahan secara bertahap harus dilakukan ke daerah lain yang lebih memenuhi syarat pemukiman yang layak. Alasan penolakan pindah dari sebagian warga daerah kumuh dapat diatasi dengan proyek pembangunan ekonomi lemah yang konsisten. Kebanyakan warga daerah kumuh adalah pekerja sektor informal atau PKL. Pada dasarnya masalah dari PKL hanyalah soal ketertiban. That's all! Padahal masalah ini dapat diatasi jika ada sentra-sentra PKL yang dibangun secara serius dengan mengutamakan kebersihan, keamanan dan ketertiban.

Masalah kelima adalah keamanan. Jakarta adalah ibukota negara. Seharusnya keamanan bukan lagi masalah. Namun ternyata sebaliknya. Jakarta penuh pencopet, penodong dan perampok. Dengan densitas penduduknya yang tinggi, seharusnya jumlah polisi diperbanyak. Masih banyak tempat-tempat yang rawan kejahatan. Ini seharusnya dapat ditekan dengan patroli polisi yang aktif. Kinerja polisi juga harus ditingkatkan. Tidak seharusnya polisi menjadi pemalas atau bahkan ikut jadi penjahat, memeras dan membuat warga tidak nyaman.

Thursday, May 12, 2005

Populasi konsumen dunia 2024 makin menua

Ada topik dalam McKinsey Quarterly Newsletter 2005 yang bagi saya cukup menarik. Topik tersebut mengenai prediksi ekonomi dunia 20 tahun ke depan. Disebutkan bahwa pada saat itu, populasi dunia menua (bumi dipenuhi orang-orang berusia tua). Ini mirip kondisi yang diprediksikan oleh Rob Kiyosaki dalam buku-buku Cashflow Quadrant-nya. Kondisi lain yang muncul adalah bahwa standard hidup di negara maju yang selalu naik sejak jaman revolusi industri, bisa jadi akan stagnan. Kesemua ini dikarenakan populasi di Jepang, AS, dan Eropa Barat, yang menguasai pundi-pundi keuangan internasional akan makin senja usianya. Sebagai contoh, rata-rata usia penduduk Italia akan naik dari 42 ke 51, Jepang dari 43 ke 50, AS dari 37 ke 38. Karena umumnya kalangan pensiunan tidak lagi menabung sementara kalangan muda lebih konsumtif dibanding orang tua mereka, maka tingkat tabungan masyarakat akan 'terjun bebas'. Maka dapat dikatakan, perbankan di negara-negara maju menuju kejatuhan. Mengapa? Karena dengan menurunnya tingkat tabungan, maka kapital yang tersedia untuk investasi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi akan berkurang. Bahkan pertumbuhan cepat di negara lain seperti Cina tidak akan dapat mengimbangi trend tersebut.

Tidak mudah bagi negara-negara tersebut untuk mencari solusinya. Memperpanjang usia pensiun, mempermudah arus imigran, menyemangati keluarga-keluarga untuk punya anak lebih banyak, tidak cukup membantu. Bahkan usaha menggeber pertumbuhan ekonomi maupun revolusi produktifitas dengan teknologi tinggi tidak banyak manfaatnya. Pilihan beratnya adalah dengan mendorong rumah tangga dan pemerintah untuk menabung lebih banyak dengan pengembalian lebih tinggi dari aset-aset yang dimiliki.
Bagi Indonesia sendiri seharusnya saat itu terjadi, bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada bantuan finansial negara maju. Program perlambatan laju pertumbuhan penduduk seperti jadi tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Pendidikan finansial, termasuk mengenai ekonomi produsen-konsumen, perlu juga ditanamkan sejak level dasar pendidikan kita.




http://www.mckinseyquarterly.com/article_abstract.aspx?ar=1588&L2=7&L3=10

Monday, May 09, 2005

MECE

MECE adalah singkatan dari Mutually Exclusive, Collectively Exhaustive. MECE menekankan pada pembentukan kerangka pemikiran dengan kejelasan maksimum dan kelengkapan maksimum.
Ketika kita membuat hipotesis atas suatu kasus, kita akan merincinya dalam beberapa pokok persoalan. Jika pokok-pokok persoalan tersebut benar-benar berbeda dan terpisah, maka ia dikatakan Mutually Exclusive (saling terpisah). Tidak ada tumpang tindih. Setiap aspek dalam kasus tersebut hanya dapat dikategorikan pada salah satu pokok persoalan, tidak lebih.
Jika gabungan pokok-pokok persoalan yang dibuat mencakup keseluruhan persoalan dalam kasus tersebut, maka ia dikatakan Collectively Exhaustive (lengkap secara kolektif). Tidak ada yang luput. Setiap aspek dalam kasus tersebut dapat dikategorikan dengan mudah ke salah satu pokok persoalan.
Kejelasan dan kelengkapan maksimum ini dapat menjamin bahwa hipotesis yang dibuat akan memudahkan proses menuju solusi. Solusi yang nanti diperoleh pun harus memiliki kerangka yang berdasarkan MECE.
Contoh kasus:
Bagaimana meningkatkan keuntungan penjualan produk sebuah perusahaan roti?
Pokok persoalan:
1. menurunkan biaya produksi roti
2. memperbaiki metode pemasaran ke konsumen.
Misalkan kita sedang meninjau aspek peningkatan kualitas produksi. Kita harus memastikan bahwa aspek ini adalah bagian dari dari salah satu pokok persoalan yang sudah ada. Jika tidak, maka ia adalah pokok persoalan baru, yang benar-benar terpisah dari yang lain.
Dalam hal ini, aspek peningkatan kualitas produksi terkait langsung dan merupakan bagian dari pokok persoalan menurunkan biaya produksi roti. Maka kita tidak perlu membuat pokok persoalan baru untuk itu. Kalaupun ingin ditekankan sebagai sebuah aspek yang penting, kita cukup meletakkannya di bawah pokok persoalan yang sudah ada. Contoh:
1. menurunkan biaya produksi roti
1.2 meningkatkan kualitas produksi
2. memperbaiki metode pemasaran ke konsumen.
Sekarang kita sedang mempertimbangkan aspek perubahan strategi penjualan melalui toko-toko pengecer. Sepintas aspek ini mirip dengan pokok persoalan nomor 2 yaitu memperbaiki metode pemasaran ke konsumen. Namun sebenarnya itu dua hal yang berbeda, karena di satu sisi perusahaan tersebut menjual langsung produknya ke konsumen, sementara di sisi lain ia memanfaatkan perusahaan lain sebagai penjual. Maka aspek baru ini perlu ditempatkan sebagai pokok persoalan tersendiri. Contoh:
1. menurunkan biaya produksi roti
1.2 meningkatkan kualitas produksi
2. memperbaiki metode pemasaran ke konsumen
3. merubah strategi penjualan melalui toko-toko pengecer.
Tentu saja jika di saat kemudian ditemukan tumpang tindih antara pokok-pokok persoalan tersebut, maka daftar itu dapat direorganisasi kembali untuk mempertahankan MECE.
Jadi MECE juga membutuhkan recheck dan reorganisasi berkelanjutan.
=====0=====
(

Tuesday, May 03, 2005

Masihkah Bisnis Butuh ERP ?

Disadur secara bebas dari “Businesses Need ERP: More Than Ever” (Jim Shepherd, Senior Vice President AMR Research, SAP Info Online).

Masihkah kita butuh ERP? Melihat perkembangan akhir-akhir ini, mungkin pertanyaan tersebut menjadi sesuatu yang aktual. Banyak orang yang mulai mempertanyakan apakah kita benar-benar membutuhkannya. Begitu banyak perhatian kalangan bisnis terfokus pada produk-produk baru (yang mempermahal IT cost) seperti SCM, CRM, PLM, Business Intelligence, dan lain-lain. Rasanya kita pun jadi kewalahan sehingga ngambek dan terpaksa mengatakan, “Kita tidak butuh sistem ERP lagi!”.

Kekuatan ERP: memastikan semua rincian tugas dikerjakan tepat waktu, aktifitas terkoordinasi secara urut, dan semua informasi tersimpan di lokasi yang terpusat dan aman. Di masa lalu, kebanyakan aktifitas bisnis dilakukan secara manual dan disimpan dalam bentuk file di PC hanya untuk referensi belaka. Sekarang, hampir semua proses diotomatisasi atau dibantu oleh komputer serta dicatat di satu sistem dan di-share untuk dipakai pula oleh orang lain. Tugas-tugas seperti pemrosesan sales order, penerimaan material dari vendor, atau penempatan pegawai baru, melibatkan banyak catatan dan banyak bagian dari organisasi. Semua harus dilakukan secara cepat, efisien, dan mematuhi regulasi internal/eksternal. Disinilah kekuatan ERP berlaku.

Dalam era bisnis modern, hubungan antar perusahaan menjadi semakin dipengaruhi oleh kemampuan untuk berinteraksi dalam jaringan supply-chain global. Ini tentunya membutuhkan sistem ERP yang mampu mendukung proses komunikasi dua-arah yang modern. Harga produk yang rendah dan kualitas tinggi (katanya) tidak lagi dianggap sebagai suatu diferensiator. Sebaliknya, kecepatan, akurasi, fleksibilitas, dan efisiensi makin menjadi dasar dari kompetisi di banyak industri.

Sistem ERP dewasa ini (perkembangannya setelah sekitar satu dekade) terus mengalami perbaikan. Peningkatan kemampuan integrasi dan interaksi antar sistem telah membuat ERP lebih serius dipertimbangkan untuk fungsi-fungsi internal control system maupun kolaborasi dengan external customer/supplier/partner. Lebih jauh, manajemen senior di banyak perusahaan mulai menggunakan struktur dan konsep integrasi di dalam ERP untuk mentransformasi organisasi mereka.

So, masihkah bisnis butuh ERP ?

Monday, May 02, 2005

Simplicity

Dunia kita ini pada dasarnya berisi hal-hal sederhana. Hanya saja ketika sebegitu banyak hal sederhana ini berkoneksi satu sama lain, ketidaksederhanaan alias kompleksitas muncul. Hanya dengan kemampuan mencerna yang baik saja kompleksitas dapat diurai menjadi komponen-komponennya yang lebih mendasar, lebih sederhana. Namun, tidak semua sistem pencernaan itu berjalan baik bukan? Mari kita telaah sedikit soal ini dalam konteks manajemen.

Kita sering menjumpai kompleksitas itu terjadi dalam bahasa yang kita gunakan. Bayangkan ketika kita mendengar orang lain mengatakan, “Keluaran beracun dari reaksi pembakaran tembakau yang mengkontaminasi udara yang masuk ke sistem pernafasan manusia dapat memicu regenerasi sel-sel tubuh secara tak terkendali”. Kita butuh beberapa detik untuk memahami keseluruhan kalimat tersebut. Tiap orang berbeda pemahamannya. Bagaimana mungkin orang itu dapat mengharapkan lawan bicaranya memahami maksudnya jika kompleksitas dipaksakan. Akan lebih efektif jika kalimat itu disederhanakan menjadi misalnya, “Asap rokok dapat menyebabkan kanker”. Dalam manajemen, kompleksitas bahasa menimbulkan masalah komunikasi yang tak dapat diprediksi.

Kompleksitas juga sering dijumpai dalam organisasi. Pikirkan sebuah konglomerasi yang kita kenal. Mereka punya banyak divisi yang mungkin mengurusi bisnis yang benar-benar berbeda. Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana mereka dapat berfokus? Perusahaan Astra di Indonesia pernah punya banyak sayap bisnis yang berbeda satu sama lain. Mampukah mereka menjadi nomor satu? Mereka mampu bangkit dari krisis setelah melakukan restrukturisasi dan kembali ke bisnis intinya: penjualan kendaraan. Fokus hanya bisa dicapai dengan melakukan spesialisasi.

Kawasan lain yang juga dilanda oleh “demam” kompleksitas adalah kreatifitas kita sendiri. Hal ini bahkan sering tidak kita sadari. Biasanya kompleksitas dibungkus oleh perasaan gengsi. Kerumitan sebanding dengan intelektualitas. Semakin rumit ide kita semakin kita dipandang cerdas. Padahal bisa jadi kerumitan itu tidak dipahami secara baik oleh orang lain, atau bahkan menimbulkan kesalahpahaman yang menghalangi keberhasilan.

Jadi bagaimana? Menjadi sederhana tidak berarti menjadi bodoh. Justru kesederhanaan adalah buah dari pemikiran yang bijak dan mendalam. Keep It Simple, Stupid!!